Inhuwa.com—Suara tuntutan pembebasan sandera menggema di jantung Tel Aviv, sementara gelombang solidaritas untuk Palestina mengalir deras di berbagai kota Eropa. Dua sisi konflik yang sama-sama lantang, masing-masing menyerukan satu hal: akhir dari penderitaan.
Pada Sabtu lalu, ribuan warga Israel berkumpul di depan markas besar militer di Tel Aviv. Mereka menuntut pemerintah segera mengupayakan pembebasan 55 sandera yang masih ditahan di Gaza. Demonstrasi ini kembali menyorot tekanan publik terhadap kebijakan militer Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang dianggap mengabaikan keselamatan para sandera.
Suasana semakin haru ketika Kementerian Luar Negeri Thailand mengumumkan bahwa tentara Israel menemukan jenazah salah satu sandera asal Thailand, Nattapong Pinta, yang sebelumnya diculik dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang menulis di platform X, “Waktu hampir habis untuk semua 55 sandera. Kita harus membawa mereka pulang, sekarang juga!”
Ketegangan meningkat ketika juru bicara sayap militer Hamas, Abu Obeida, memperingatkan bahwa salah satu sandera Israel, Matan Zangauker, berada di wilayah yang sedang diserang militer Israel. Jika dia terbunuh dalam operasi pembebasan, kata Abu Obeida, “tanggung jawab penuh ada pada militer Israel.”
Ibunda Matan, Einav Zangauker, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dalam orasinya, ia mengecam Netanyahu yang dianggap lebih mementingkan stabilitas politik daripada nyawa para sandera. “Tekanan militer saat ini justru membahayakan Matan dan yang lainnya. Ini pengorbanan yang disengaja,” katanya emosional.
Dukungan moral juga datang dari sesama keluarga sandera. Itzik Horn, ayah dari sandera lain bernama Eitan, meminta Amerika Serikat, melalui utusannya di Timur Tengah Steve Witkoff, untuk mendorong proposal gencatan senjata yang bisa menyelamatkan nyawa para tawanan. “Hanya dengan ultimatum yang kuat kepada kedua belah pihak, perang ini bisa dihentikan dan para sandera bisa kembali,” ujarnya.
Namun demonstrasi ini tidak berlangsung mulus. Sejumlah aktivis dari LSM Looking the Occupation in the Eye dilarang masuk ke lokasi aksi. Mereka membawa poster-poster yang mengecam kejahatan perang dan pembersihan etnis di Gaza. Video dari lokasi menunjukkan polisi mendorong dan membentak para aktivis tersebut.
Sementara itu, laporan terakhir dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan angka yang mencengangkan: lebih dari 54.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 125.000 lainnya terluka akibat serangan militer Israel yang terus berlangsung.
Gelombang Solidaritas di Eropa
Di sisi lain dunia, solidaritas terhadap rakyat Palestina terus menguat. Di Roma, ratusan ribu orang turun ke jalan menyerukan diakhirinya perang dan mengecam dukungan pemerintah Italia terhadap Israel. Pemimpin oposisi dari Partai Demokrat, Elly Schlein, menyebut aksi ini sebagai “respon rakyat yang luar biasa” terhadap kekejaman yang terjadi di Gaza.
“Kami di sini untuk berkata cukup terhadap pembantaian rakyat Palestina. Cukup terhadap kejahatan pemerintahan sayap kanan Netanyahu. Dunia harus melihat bahwa ada Italia yang berbeda!” serunya.
Perdana Menteri Giorgia Meloni, yang selama ini dikenal mendukung Israel, kini mulai mendapat tekanan politik domestik karena sikapnya yang dinilai terlalu lunak terhadap perang.
Tak hanya di Italia, aksi serupa juga meletus di London, di mana para demonstran membawa spanduk bertuliskan “Potong anggaran perang, bukan kesejahteraan.” Mantan pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn, turut hadir dan menyoroti penderitaan anak-anak di Gaza. “Kita butuh dunia yang damai, dan perdamaian hanya akan datang bila kita menghadapi akar penyebab perang,” katanya.
Gelombang unjuk rasa pro-Palestina juga terjadi di Denmark, Swedia, dan Jerman, dengan seruan yang sama: hentikan genosida di Gaza.
Berita ini sepenuhnya disadur dari: "Israelis demand captives’ return; Europe rallies for end to Gaza genocide", Al Jazeera, 2025.
Sumber Gambar: reuters