Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A.
KALAU kita bangun pagi, langit masih pucat, dan matahari belum muncul, coba perhatikan: tanah sudah dan selalu basah. Bukan karena hujan deras semalam, tapi karena embun yang pelan-pelan turun, tanpa suara, tanpa riuh, tanpa disadari. Ia hadir setiap hari. Ia konsisten. Ia tidak memukau seperti badai, tapi ia setia membasahi bumi.
Itulah istiqomah!
Para ulama berkata, “al-istiqāmah khairun min alfi karāmah” (Istiqomah itu lebih baik daripada seribu karamah). Karamah secara awam berarti keajaiban luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada para wali, dan sebagai tanda kedekatan ilahiah. Namun para ulama menegaskan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya daripada semua keajaiban itu: istiqomah.
Betapa tidak. Karamah memang istimewa, tapi ia tidak bisa diminta, tidak bisa diciptakan, tidak bisa diulang-ulang sesuka hati. Ia adalah hadiah dari langit kepada para kekasih Allah. Tapi istiqomah? Ia adalah pilihan. Ia adalah tekad. Ia adalah keteguhan hati untuk tetap berada di jalan yang lurus, di tengah godaan, rintangan, dan kegagalan.
Dalam hidup, kita lebih sering menginginkan hujan deras—hasil yang cepat, sukses yang mencolok, perubahan yang instan. Kita ingin menjadi baik seketika, hijrah sekali langsung sempurna, ibadah sekali langsung khusyuk. Padahal Allah lebih mencintai amal yang kecil tapi terus-menerus, daripada amal besar yang hanya sekali, lalu hilang ditelan waktu.
Embun tidak menimbulkan decak kagum. Ia tidak viral. Ia tidak selalu dibicarakan. Tapi lihatlah pengaruhnya—ia menyejukkan, menyuburkan, dan menunjukkan kesetiaan. Ia hadir setiap pagi, menepati janjinya, menggenapi harapan bumi yang kering.
Begitu pula orang yang istiqomah. Ia menunaikan salat lima waktu; membaca Al-Qur’an, meski hanya satu ayat; menjaga lisan; menahan marah; bersedekah sedikit-sedikit, namun tak pernah absen.
Sebenarnyalah, istiqomah itu bukan sekadar konsisten. Ia adalah keteguhan dalam iman. Ia adalah sikap tegak lurus di tengah terpaan. Dalam bahasa Arab, kata istiqomah berasal dari akar kata istaqāma – yastaqīmu – istiqāmah, yang bermakna berdiri tegak, lurus, tidak goyah. Seseorang yang istiqomah bukanlah yang tak pernah jatuh, melainkan yang selalu bangkit kembali dan tetap di jalur kebaikan meski harus merangkak.
Lihatlah embun. Ia tidak pernah menyerah pada angin malam. Ia tetap hadir, menyentuh dedaunan, membasahi tanah, lalu menguap menuju langit. Seolah berkata, “Aku tidak besar, tapi aku ada. Aku tidak deras, tapi aku konsisten.”
Dalam dunia yang penuh kompetisi, kita diajarkan untuk menjadi yang tercepat, terbesar, dan paling mencolok. Namun dalam agama, kita diajarkan untuk menjadi yang paling setia. Allah tidak melihat hasil secepat apa engkau berubah, tapi sekuat apa engkau bertahan di jalan perubahan itu. Tidak ada gunanya semangat membara di awal hijrah jika itu hanya sesaat. Aneh rasanya salat seribu rakaat semalam jika besoknya tidak ada satu pun yang ditunaikan.
Guru saya pernah berkata, “Jangan iri pada orang yang sekali salat bisa menangis berjam-jam, kalau engkau belum bisa melakukannya. Irilah pada orang yang tiap malam bangun, meski hanya dua rakaat. Karena dari yang sedikit itu, Allah membuka-kan gerbang besar.”
Lagi-lagi, beramallah seperti embun.
Sedikit, tapi terus menerus. Diam, tapi menyejukkan. Tidak mencolok, tapi bermanfaat. Jangan menunggu mampu melakukan hal besar baru beramal. Lakukan yang kecil, tapi dengan ketulusan dan keteguhan. Karena istiqomah tidak menuntut kesempurnaan, tapi keberanian untuk terus hadir, hari demi hari, walau hanya dengan satu langkah.
Istiqomah adalah seni mencintai Allah secara setia. Ia adalah bukti cinta yang tidak butuh panggung. Ia adalah janji yang ditepati. Dan Allah, Maha Melihat. Ia tidak pernah menutup mata dari hamba yang berjalan ke arah-Nya, walau tertatih, walau lambat, asal tidak berhenti.
Maka jangan iri pada karamah. Jangan menunggu menjadi wali untuk menjadi mulia. Mulailah dari istiqomah yang sederhana. Jangan menunda untuk menjadi baik sampai engkau merasa siap. Karena dalam jalan kebaikan, yang paling penting bukan kesiapan, tapi kemauan untuk tetap berjalan. Satu ayat per hari. Satu rakaat per malam. Satu kebaikan kecil setiap pagi. Maka hidupmu akan berubah pelan-pelan, seperti tanah yang mengering lalu kembali hijau oleh tetes-tetes embun.
Sebagaimana embun tidak pernah memilih kapan ia harus turun, istiqomah pun tidak menunggu waktu ideal. Ia hadir sekarang, di mana pun kita berada. Tidak perlu menunggu Ramadan, tidak perlu menunggu usiamu tua. Jika hari ini engkau bisa memulai satu langkah kebaikan, lakukanlah. Dan esok, ulangi. Lalu ulangi lagi. Sampai akhirnya, tanpa terasa, engkau telah menempuh perjalanan panjang dengan langkah-langkah kecil.
Istiqomah bukan tentang kekuatan besar. Ia tentang kesetiaan kecil. Dan dari kesetiaan itu, Allah membukakan keberkahan. Maka jadilah seperti embun: sederhana, konsisten, dan setia.
Tidak perlu menjadi hujan yang menimbulkan banjir sesaat. Jadilah embun yang setiap pagi hadir, menyejukkan bumi, dan membawa kehidupan.
Karena sesungguhnya, embun adalah wujud kasih sayang langit yang turun perlahan. Seperti halnya istiqomah—ia adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang terus ingin dekat, walau pelan, walau sederhana.
*Penulis adalah Guru Besar Filsafat Hukum Islam UIN Sumatera Utara Medan
Inhuwa.com dikelola secara independen tanpa pendanaan dari korporasi, partai, atau lembaga mana pun.
Seluruh operasional kami — mulai dari server, riset, hingga honor penulis tamu — berasal dari dana pribadi dan dukungan publik.
Dukungan Anda, sekecil apa pun, sangat berarti bagi kelangsungan blog ini agar terus menjadi sumber pengetahuan yang jujur, kredibel, dan mencerahkan tentang Islam dan masyarakat Muslim.
💳 Donasi via Transfer
🏦 BSI (Bank Syariah Indonesia)
📌 No. Rekening: 7307693423
👤 a.n. Ahmad Tamami
Semoga Allah membalas setiap kebaikan Anda dengan keberkahan hidup dan pahala jariyah yang terus mengalir. Aamiin.