Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A.
Suatu hari, saya baru saja selesai memberikan ceramah di sebuah masjid kecil tapi ramai. Udara sore itu hangat, jamaah tampak tenang, beberapa bahkan sudah bersiap untuk pulang. Tapi seperti biasa, sesi tanya jawab selalu jadi bagian yang paling menggugah hati.
Satu persatu tangan terangkat, mulai dari pertanyaan soal amal, kehidupan, hingga masalah keluarga. Lalu, tangan seorang ibu-ibu sepuh terangkat. Suaranya pelan tapi jelas. Umurnya katanya sudah 72 tahun, tapi intonasinya masih penuh semangat seperti anak muda yang baru menemukan kebingungan pertamanya dalam cinta.
“Ustadz,” katanya, “umur saya 72 tahun, cucu saya 14; keluarga saya harmonis, tetangga saya baik-baik semua, suami saya selama pernikahan romantis dan bertanggung jawab. Tapi…”
Nah, ini dia. Dalam kehidupan, “tapi” selalu menjadi kata pengantar perubahan suasana.
“Tapi, bulan lalu saya mendengar kabar kalau suami saya kawin lagi. Sedih kali hati saya, Ustadz. Tapi anehnya, di rumah dia tetap baik, tetap lembut, tidak berubah. Tidak pernah kasar. Masih seperti dulu, baik kali lah pokoknya. Tapi kabar itu… mengganggu ketenangan saya. Saya minta amalan supaya hati saya tenang.”
Saya menatapnya dalam-dalam. Di balik kerutan wajahnya, saya lihat ada gelombang besar yang sedang berusaha dia tahan dengan senyum dan sorot mata. Ini bukan soal kabar biasa. Ini soal pilihan hidup yang akan menentukan arah sisa umur seseorang.
Lalu saya bilang pelan-pelan, “Bu, kadang dalam hidup ini, kita diberi dua pilihan: mencari kebenaran atau memilih ketenangan. Dan kadang, dua-duanya tak bisa kita genggam sekaligus.”
Seketika, ruangan hening. Beberapa jamaah tampak menatap ke bawah, ada yang mulai merenung, dan saya yakin ada pula yang sedang menghitung-hitung berapa tahun usia pernikahan mereka sambil curiga pada tabiat suami yang akhir-akhir ini rajin mandi sore.
Saya lanjutkan, “Kalau ibu ingin mencari kebenaran, harus siap kehilangan ketenangan. Itu harga yang kadang harus dibayar.
Orang yang ingin tahu segalanya, kadang tidak siap menanggung semua yang ia temukan. Mau tahu dengan siapa suami pergi malam tadi? Baik, silakan. Tapi siap-siaplah, senyum ibu yang selama ini tulus bisa berubah menjadi sinis. Ibu bisa mulai jadi seperti detektif rumah tangga: periksa HP, ikuti ke mana pergi, pasang GPS, tanya-tanya diam-diam ke tetangga. Tapi bersiaplah juga… ketenangan rumah bisa goyah. Anak-anak mungkin mulai bing-ung, cucu-cucu bisa kehilangan respek kepada kakeknya, dan tetangga? Wah, mereka bisa jadi fans sinetron baru keluarga ibu (keluarga mulai jadi bahan gibahan).
Tapi kalau ibu ingin memilih ketenangan, maka ibu harus belajar untuk menutup telinga dari riuh kabar yang belum tentu juga jelas ujungnya. Ibu harus pandai-pandai menyapih logika dari rasa ingin tahu. Jangan salah, ini bukan berarti pasrah buta. Tapi ini tentang berserah dan mempercayakan hal-hal yang tak terjangkau kepada Allah, Sang Maha Mengetahui. Allahu Shomad. Tempat bergantung segala urusan, termasuk urusan hati yang remuk karena kabar yang datang tak diundang.”
Saya bilang, “Coba Ibu mulai berdoa. Ya Allah, selama empat puluh tahun pernikahan kami, suami saya baik, anak-anak salih, cucu-cucu sehat. Tapi kabar ini mengguncang ketenangan saya. Saya pasrahkan semuanya pada-Mu.” Doa yang lahir dari jiwa yang sadar bahwa manusia tidak bisa memiliki kendali penuh atas dunia.
Tapi yang paling tidak boleh,—dan ini saya tekankan—jangan sok-sokan mencari kebenaran kalau tidak siap menerima seluruh konsekuensinya. Itu ibarat naik ke gunung tinggi tanpa perbekalan dan tanpa tahu jalur turun. Bisa-bisa tersesat di tengah jalan, dan akhirnya lebih lelah daripada waktu belum mendaki.
Sebaliknya, kalau memilih ketenangan, maka harus benar-benar ikhlas. Tidak separuh-separuh. Jangan masih stalking, tanya-tanya ke grup arisan, atau diam-diam pasang penyadap di mobil suami. Kalau memang sudah memilih untuk tenang, maka yakinlah bahwa ketenangan itu bukan tentang apa yang terjadi di luar sana, tapi tentang bagaimana hati kita meresponsnya.
Kadang-kadang, hidup ini seperti sedang makan sop panas. Kalau kita buru-buru, bisa-bisa lidah kita melepuh. Tapi kalau kita sabar meniupinya, rasanya akan nikmat dan menenangkan. Dalam rumah tangga pun begitu. Kadang kita dengar sesuatu yang membuat dada kita mendidih. Tapi jangan langsung ditelan mentah-mentah. Tiup dulu dengan sabar. Pertimbangkan: apakah ini akan membawa kebaikan atau justru membuka pintu keributan yang selama ini telah tertutup rapi?
Ada satu hal yang selalu saya ulang-ulang pada diri saya sendiri: tidak semua kebenaran harus diketahui. Ada yang cukup diserahkan pada waktu. Karena apa? Karena tak semua hal bisa kita kendalikan.
Kita bisa kontrol jam weker di pagi hari, tapi kita tidak bisa mengontrol kapan hidup kita akan “berbunyi” berakhir. Maka untuk apa menghabiskan waktu menegakkan semua kebenaran, jika pada akhirnya yang hancur justru kedamaian kita sendiri?
Saya tahu, ini bukan keputusan mudah. Kadang orang bilang, “Kalau saya diam, berarti saya lemah dong?” Tidak juga. Justru diam itu kekuatan kalau datang dari tempat yang benar. Butuh keberanian besar untuk menahan diri saat kita bisa meledak. Butuh keteguhan luar biasa untuk memelihara senyum di tengah badai.
Dan ingat, “Bu”, lanjut saya, “kadang, hidup ini seperti nonton sinetron. Kalau Ibu terlalu serius dan ikut campur, Ibu akan capek sendiri. Tapi kalau Ibu duduk tenang, ambil cemilan, dan menonton alurnya dengan sabar, bisa jadi akhir ceritanya malah mengejutkan dan membahagiakan.”
Kita tak bisa memastikan semua orang di sekitar kita akan selalu jujur, setia, atau sesuai harapan. Tapi kita bisa memastikan bahwa hati kita tetap dekat kepada Allah. Ini cara terbaik merespon dinamika hidup. Kita bisa memilih untuk tetap waras dan tenang, daripada sibuk memutar-mutar roda curiga yang tak pernah ada ujungnya.
Dalam hidup, kita akan sering dipertemukan dengan dua jalan: satu jalan menuju jawaban, satu jalan menuju kedamaian. Keduanya sah-sah saja, selama kita tahu konsekuensinya. Tapi ingatlah, tidak ada kebijaksanaan tanpa ketenangan. Dan tidak ada ketenangan tanpa keikhlasan.
Jadi kalau suatu hari, ada kabar yang mengganggu, ada bisikan yang membuat dada sesak, duduklah sebentar. Tarik napas. Lihat ke langit. Dan tanyakan pada diri: saya sedang butuh kebenaran, atau saya sedang butuh ketenangan?
Karena bisa jadi, jawaban yang kita butuhkan bukan di luar sana. Tapi ada dalam doa kita yang diam-diam ditangisi dalam sujud panjang di sepertiga malam. Jawaban yang tidak datang dalam bentuk logika, tapi dalam bentuk rasa damai yang tiba-tiba menenangkan dada.
Saya tekankan, “mulailah berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Doa yang bukan sekadar lantunan lisan, tapi rintihan hati yang ikhlas. Doa agar Allah menjadikan kita orang yang siap menerima keadaan, bahkan ketika keadaan itu terasa tidak masuk di akal kita. Karena hidup ini bukan tentang semua harus sesuai harapan, tapi tentang bagaimana kita mengubah goncangan menjadi pelajaran, dan menerima ketetapan dengan lapang dada.
Tidak semua hal bisa kita ubah, tapi kita bisa selalu mengubah cara kita meresponsnya. Dan saat hati kita berserah penuh kepada-Nya, ketenangan itu akan datang—bukan karena dunia menjadi lebih baik, tapi karena jiwa kita menjadi lebih kuat.”
*Penulis adalah Guru Besar Filsafat Hukum Islam UIN Sumatera Utara Medan
Baca Juga: Tuhan para Pendosa
Inhuwa.com dikelola secara independen tanpa pendanaan dari korporasi, partai, atau lembaga mana pun.
Seluruh operasional kami — mulai dari server, riset, hingga honor penulis tamu — berasal dari dana pribadi dan dukungan publik.
Dukungan Anda, sekecil apa pun, sangat berarti bagi kelangsungan blog ini agar terus menjadi sumber pengetahuan yang jujur, kredibel, dan mencerahkan tentang Islam dan masyarakat Muslim.
💳 Donasi via Transfer
🏦 BSI (Bank Syariah Indonesia)
📌 No. Rekening: 7307693423
👤 a.n. Ahmad Tamami
Semoga Allah membalas setiap kebaikan Anda dengan keberkahan hidup dan pahala jariyah yang terus mengalir. Aamiin.