Tuhan para Pendosa

 


Ada kalanya seorang manusia duduk sendiri di tengah malam yang lengang. Angin pun enggan berembus, lampu kamar redup menggantung cahaya yang setengah hidup, menyorot dinding dengan temaram lelah, dan suara dunia seakan lenyap dari telinga. Tapi hatinya… hatinya justru gaduh. Gaduh oleh suara-suara penyesalan yang terlalu dalam untuk ditutupi.

Ia ingin menangis, tapi tak tahu bagaimana caranya. Ingin bicara, tapi kepada siapa? Mereka yang dulu disebut sahabat, kini menjauh karena tahu aibnya. Mereka yang dulu dekat, menjauh karena tahu betapa dalam ia jatuh.

Maka ia tunduk. Diam. Menatap lantai seperti mencari sisa dirinya yang berserakan. Dan di antara keheningan itu, terlintas satu nama: Allah.

Tapi kemudian hatinya ragu. "Masih pantaskah aku menyebut nama-Nya? Masih adakah tempat untukku di sisi-Nya?"
Ia terdiam. Lalu air mata itu jatuh, entah dari mana datangnya. Hening, tapi bercucuran.

Dan sungguh, air mata yang jatuh dalam sunyi karena dosa, lebih murni daripada seribu kata yang hanya jadi gema di bibir.

Wahai Tuan yang sedang dihimpit resah.
Wahai Puan yang terselubung cemas.
Jika memang kitalah orang itu, sesungguhnyalah, bahwa di saat itulah rahmat Allah sedang turun paling lembut ke dalam jiwa kita.
Allah tidak menunggu kita suci untuk mencintai kita. Dia mencintai kita agar kita kembali suci. Allah tidak menunggu kita sempurna untuk mendekat. Dia mendekat agar kita mampu memperbaiki.

Bukankah cahaya paling dibutuhkan saat malam paling kelam?
Dan bahkan… Saat kita mengira Allah telah berpaling, padahal sebenarnya kita-lah yang menunduk terlalu lama karena malu, hingga lupa, bahwa pintu-Nya tak pernah tertutup.

Allah adalah Tuhan kita. Bukan hanya bagi yang saleh. Bukan hanya bagi mereka yang lisannya fasih dalam doa. Bukan hanya bagi mereka yang telah hafal kitab dan rajin ibadah.

Allah adalah Tuhan kita semua. Tuhan mereka yang sedang hancur. Tuhan mereka yang sedang menghapus air mata karena dosa. Tuhan mereka yang ingin kembali, meski belum tahu dari mana harus memulai.

Allah adalah Tuhan kita. Bukan hanya Tuhan bagi yang sujudnya sempurna dan amalnya bercahaya, tapi juga Tuhan bagi yang tersungkur, yang lelah, yang jatuh, dan bahkan bagi mereka yang merasa tak pantas untuk kembali karena aib yang tak terkatakan.
Kadang, langit yang paling cerah justru muncul setelah badai. Dan jiwa yang paling bercahaya, justru lahir dari gelapnya penyesalan yang dalam.


Advertisement

Untuk Informasi Lebih Lanjut Klik Gambar dan Terhubung Lewat WhatsApp



Tak ada seorang pun yang terlalu kotor untuk didekati-Nya. Tak ada satu jiwa pun yang terlalu jauh untuk dijangkau oleh cinta-Nya. Bahkan ketika seluruh dunia menutup pintu, Allah tetap membuka gerbang ampunan-Nya, selebar-lebarnya.

Mereka yang tenggelam dalam dosa bukanlah musuh Allah, melainkan hamba-hamba-Nya yang sedang menunggu untuk disentuh kembali oleh cahaya hidayah. Dosa bukanlah penutup mutlak bagi rahmat-Nya. Ia hanyalah kabut yang bisa tersapu angin tobat. Yang membuat seseorang jauh bukan dosanya, tapi keputusasaannya.

Maka, bahkan dalam gelap, Allah selipkan jalan terang. Bahkan dalam jatuh, Ia sisipkan undangan untuk bangkit.

Sesungguhnya, putus asa adalah salah satu tipu daya setan yang paling halus. Ia membisikkan bahwa engkau tidak akan diterima, bahwa engkau sudah terlalu kotor, bahwa tangismu tak akan sampai ke langit. Ia ingin engkau menyerah. Padahal Allah tak pernah menutup penglihatan"-Nya bagi siapa pun yang sungguh-sungguh ingin kembali.

Allah tidak menciptakan manusia untuk menjadi malaikat. Ia tahu kita lemah. Ia tahu kita bisa salah. Tapi yang dilihat-Nya bukan hanya titik hitam di dada, melainkan pula percik cahaya yang masih menyala meski kecil. Bahkan ketika cahaya itu tinggal bara, Allah masih mampu "meniupkannya" hingga menjadi api yang menerangi jalan pulang.

Dalam dada yang paling gelap, Allah masih melihat setitik nur. Dan bagi-Nya, nur yang kecil itu cukup untuk memulai jalan pulang.

Tidak perlu sempurna untuk kembali kepada-Nya. Cukup bawa hati yang jujur, air mata yang tulus, dan pengakuan yang lahir dari kesadaran. Cukup katakan, “Ya Allah, ampunkan hamba, hamba ingin kembali,” dan langit akan menjadi saksi atas hamba yang mencoba bangkit.

Tuan, jangan malu menangis di hadapan-Nya. Puan, jangan ragu mengangkat tangan, bahkan jika tangan itu pernah digunakan untuk maksiat. Sebab tangan yang memohon ampun adalah tangan yang dimuliakan. Hati yang merasa bersalah adalah hati yang masih hidup. Dan jiwa yang merindukan-Nya adalah jiwa yang masih diberi cahaya.

Jangan biarkan dosa menjelma tembok antara kita dan Allah. Jadikan ia cermin untuk mengenali kehinaan diri, agar tumbuh kerendahan hati. Sebab terkadang, seorang pendosa yang sadar lebih mulia di sisi Allah daripada seorang ahli ibadah yang sombong. Kadang, dosa membawa seseorang pada taubat sejati yang mengangkat derajatnya lebih tinggi dari sebelumnya.

Allah tidak hanya mencintai mereka yang bersih, tapi juga mereka yang ingin menjadi bersih. Ia tidak hanya menyayangi yang saleh, tapi juga mereka yang sedang berjalan dengan tertatih ke arah kebaikan. Selama hati masih bergetar menyebut nama-Nya, selama mata masih basah oleh penyesalan, maka kita belum ditinggalkan.

Bahkan kepada kitalah Allah berfirman, dengan kalimat yang tak menggertak, melainkan memeluk:

“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Lihatlah bagaimana Allah memanggil kita: “hamba-hamba-Ku.” Bukan “pendosa.” Bukan “yang ingkar.” Tapi hamba-hamba-Ku.
Panggilan itu menghapus seluruh prasangka. Bahwa siapa pun yang masih menyimpan keinginan untuk pulang—sekalipun dari jurang tergelap hidup—masih termasuk dalam pelukan kasih sayang-Nya.

Ayat tersebut seperti pelukan hangat untuk hati yang beku. Seperti cahaya bagi jiwa yang berjalan di lorong hitam. Allah tahu, kita tidak sempurna. Allah tahu, kita berdosa. Tapi Allah juga tahu, ada sesal di dalam jiwa kita. Ada zikir rintihan dalam hati yang tidak terdengar oleh siapa pun, kecuali oleh Dia. Maka kembalilah.

Di hadapan Allah, tidak ada istilah "terlambat" selama ruh belum sampai ke kerongkongan. Tidak ada istilah “terlalu kotor” selama kita masih mau menyebut nama-Nya meski dalam tangis yang lirih. Air mata penyesalan yang jatuh di malam sunyi, lebih mulia di sisi-Nya daripada segala tepuk tangan dunia yang penuh riya.

Tak perlu menunggu menjadi baik untuk kembali. Kembalilah… karena justru dengan kembali itulah kita akan dibersihkan.

Mengakui diri berdosa bukan akhir jalan. Tapi awal dari sebuah perjalanan menuju Allah yang lebih tulus, lebih dalam, dan lebih indah.

Berapa banyak orang yang hidup dengan dosa, tapi tidak pernah menyesal? Dan berapa banyak pula yang berdosa, lalu menangis semalaman dalam gelap, hanya Allah yang tahu, dan itu lebih berat nilainya dari dunia seisinya.

Maka cukupkan air mata sebagai saksi bahwa hati kita belum mati. Selama itu, kita belum terlambat. Selama itu, kita belum tertutup dari cahaya-Nya.

Dan kalau malam ini kita ingin bicara pada-Nya, maka tidak perlu bahasa indah. Cukup katakan, “Ya Allah, ampunkan hamba.” Itu saja.

Tidak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya. Yang besar itu adalah keangkuhan untuk tidak mau kembali.
Kita semua pendosa. Tapi jangan biarkan dosa itu membuat kita putus asa.

Biarkan kesadaran akan dosa itu menjadi jalan pulang.
Biarkan tangisan itu menjadi hujan yang membersihkan.

Dia adalah Tuhan kita semua. Termasuk engkau, yang mungkin sedang bersimpuh sendiri, yang mungkin sedang mengutuk diri sendiri, yang mungkin sudah lama tidak menyapa-Nya dalam doa.

Hari ini, panggillah Dia. Biar pelan. Biar terbata. Asal dari hati.
Karena Dia Maha Mendengar. Bahkan bisikan yang tak terdengar oleh telinga kita sendiri, tapi diletupkan oleh jiwa.

 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat…” (QS. al-Baqarah: 186)

 Karena Allah itu dekat. Lebih dekat dari urat leher. Lebih dekat dari segalanya, kalau kita ingin dekat dengan-Nya.
Dan jika kita bertanya, “Masihkah Allah mencintaiku?” Maka jawabannya sederhana dan jelas: Jika kita masih menangis karena ingin kembali, maka itu adalah tanda bahwa cinta-Nya tidak pernah pergi.

Tuan-Puan, jika getar hati masih terasa ketika membaca ini, ketahuilah… itulah suara fitrah yang belum padam. Suara jiwa yang masih mengenal Tuhannya, meski lama terdiam dalam sepi dan lupa. Jangan tolak panggilannya. Jangan abaikan bisikannya. Sebab jika hati masih bisa tersentuh, berarti kasih-Nya belum pergi.

Maka pulanglah… dengan langkah yang mungkin tertatih, dengan hati yang mungkin luka, dengan jiwa yang mungkin compang-camping — asalkan menuju kepada-Nya, itu sudah cukup.

Karena Allah, Tuan-Puan… adalah Tuhan bagi mereka yang kembali, bukan hanya bagi mereka yang tak pernah pergi.
Dan jika air mata ini jatuh karena rindu, bukan karena kecewa… maka yakinlah, itu adalah cahaya yang dikirim-Nya agar kita tahu: jalan pulang selalu terbuka.

Allah tak pernah menutup pintu-Nya. Kitalah yang kadang terlalu lama berdiri di ambang, malu untuk mengetuk.

Kini… ketuklah.

Inhuwa.com dikelola secara independen tanpa pendanaan dari korporasi, partai, atau lembaga mana pun.
Seluruh operasional kami — mulai dari server, riset, hingga honor penulis tamu — berasal dari dana pribadi dan dukungan publik.

Dukungan Anda, sekecil apa pun, sangat berarti bagi kelangsungan blog ini agar terus menjadi sumber pengetahuan yang jujur, kredibel, dan mencerahkan tentang Islam dan masyarakat Muslim.

💳 Donasi via Transfer

🏦 BSI (Bank Syariah Indonesia)

📌 No. Rekening: 7307693423

👤 a.n. Ahmad Tamami

Semoga Allah membalas setiap kebaikan Anda dengan keberkahan hidup dan pahala jariyah yang terus mengalir. Aamiin.

Lebih baru Lebih lama