Di antara pertanyaan paling mendasar dalam sejarah pemikiran manusia adalah: apakah semua manusia pada hakikatnya setara? Dan jika demikian, apa dasar kesetaraan itu? Apakah ia berasal dari hukum, dari kontrak sosial, atau dari sesuatu yang lebih mendalam—yang melampaui kebudayaan, ras, kelas, bahkan waktu? Dalam khazanah Islam, pertanyaan ini tidak hanya dijawab secara teoritis, tetapi juga ditanamkan dalam akar teologis dan ontologis manusia sebagai ciptaan Tuhan. Kesetaraan bukan sekadar prinsip politik atau etika; ia adalah konsekuensi langsung dari suatu pandangan tentang Tuhan, manusia, dan keadilan.
Islam memulai narasinya tentang manusia dengan pengakuan akan asal-usul yang tunggal. Dalam al-Qur’an, Allah menyapa seluruh umat manusia dengan perintah universal: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan darinya Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia menyebarkan banyak laki-laki dan perempuan” (An-Nisa:1). Kalimat ini bukan sekadar laporan tentang penciptaan biologis, melainkan penegasan metafisik bahwa seluruh umat manusia adalah satu. Tidak ada manusia yang berasal dari unsur yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Kita semua adalah “anak-anak dari satu jiwa”—dan dari sini lahirlah gagasan bahwa setiap manusia memiliki nilai yang setara di hadapan Tuhan.
Namun, Islam tidak berhenti pada asal usul. Kesetaraan juga dipertegas dalam tujuan penciptaan dan posisi manusia di dunia. Dalam Surah Al-Isra disebutkan: “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak keturunan Adam…” (Al-Isra:70). Kemuliaan ini tidak diberikan kepada sebagian kelompok, melainkan kepada seluruh keturunan Adam. Maka, kesetaraan manusia dalam Islam bukanlah ilusi atau kompromi sosial, tetapi merupakan struktur nilai yang bersumber dari kehendak Ilahi. Tuhan adalah Mahaadil, dan keadilan-Nya memancar ke dalam penciptaan, bukan dengan menyamakan semua manusia secara datar, tetapi dengan menempatkan mereka dalam relasi yang adil, bermartabat, dan bertanggung jawab.
Dalam pandangan ini, keadilan bukan berarti menghapus perbedaan. Justru, perbedaan adalah bagian dari desain ilahi. Manusia diciptakan beragam dalam warna kulit, bahasa, budaya, dan pandangan, dan semua itu dimaksudkan bukan untuk dijadikan alasan saling merendahkan, tetapi untuk saling mengenal: “Wahai manusia! Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat:13). Ayat ini bukan saja menyanggah semua bentuk rasisme dan sektarianisme, tetapi juga merumuskan ulang cara menilai manusia. Kemuliaan tidak ditentukan oleh status sosial, kekayaan, atau asal-usul, tetapi oleh takwa—suatu kualitas moral dan spiritual yang tak dapat diwariskan, hanya dapat diraih melalui kesadaran etis dan hubungan yang benar dengan Tuhan.
Dengan demikian, keadilan Ilahi dalam Islam adalah asas yang melahirkan kesetaraan manusia. Tidak ada otoritas duniawi yang boleh menempatkan sebagian manusia sebagai lebih berhak untuk hidup bermartabat dibandingkan yang lain. Dalam khutbah terakhirnya, Nabi Muhammad menegaskan prinsip ini dengan jelas: “Wahai manusia, Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, tidak ada kelebihan kulit putih atas kulit hitam, tidak pula kulit hitam atas kulit putih, kecuali dengan takwa.” (HR. Ahmad, Tirmidzi). Kalimat ini adalah deklarasi moral yang mendahului banyak dokumen hak asasi manusia modern. Ia tidak hanya menyerukan toleransi, tetapi menyatakan secara tegas bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh unsur-unsur lahiriah yang tidak ia pilih, tetapi oleh karakter dan kesalehannya.
Kesetaraan dalam Islam juga mewujud dalam prinsip tanggung jawab sosial. Setiap manusia, tanpa memandang statusnya, berhak atas kebutuhan dasar yang layak: pangan, sandang, tempat tinggal, keamanan, pendidikan, dan kebebasan beragama. Ini bukan bentuk belas kasihan sosial, tetapi merupakan hak asasi manusia dalam pandangan syariat. Dalam etika Islam, pemimpin atau negara wajib memenuhi kebutuhan ini sebagai bentuk amanah dari Tuhan. Dalam hal ini, Islam tidak memisahkan antara keadilan spiritual dan keadilan sosial. Keduanya adalah bagian dari satu sistem nilai.
Tetapi adakah kesetaraan itu pernah benar-benar nyata dalam sejarah Muslim? Tentu saja, seperti semua ajaran tinggi, penerapannya bergantung pada manusia. Dalam banyak periode sejarah Islam, nilai-nilai ini dijaga, bahkan ketika dunia di luar masih berada dalam era perbudakan dan diskriminasi rasial. Di masjid, orang miskin bisa berdiri sejajar dengan orang kaya; seorang budak bisa menjadi imam bagi para tuannya jika ia lebih berilmu; seorang kulit hitam seperti Bilal bin Rabah menjadi simbol kemuliaan karena imannya, bukan karena warna kulitnya. Di puncak ibadah haji, umat Islam dari segala penjuru dunia berkumpul dalam satu pakaian yang sama—ihram—menanggalkan semua simbol status sosial dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan.
Akan tetapi, keagungan nilai tidak selalu disertai dengan keistiqamahan pelaksanaannya. Di zaman modern, banyak negeri Muslim sendiri yang mengalami kemunduran dalam penerapan prinsip kesetaraan. Diskriminasi masih ada, bukan karena Islam, tetapi karena jauhnya kita dari akarnya. Kesetaraan dalam Islam bukanlah doktrin kosong, melainkan sebuah seruan untuk kembali ke asal manusia, ke martabatnya yang hakiki, dan ke hubungan vertikal dengan Tuhan yang melahirkan relasi horizontal yang adil dengan sesama.
Oleh karena itu, memahami kesetaraan dalam Islam menuntut kita memahami struktur filsafatnya: bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang diberi kehormatan, bahwa hidup ini adalah ujian, dan bahwa ukuran keberhasilan bukanlah dominasi, tetapi takwa. Pandangan ini mengajak kita untuk tidak hanya berpikir secara legalistik atau formalistik, tetapi untuk menghayati bahwa setiap wajah manusia mengandung cermin dari ciptaan Tuhan, yang tidak boleh diinjak oleh kekuasaan, harta, atau kebencian. Keadilan Ilahi menuntut kita untuk melihat manusia bukan sebagai objek penilaian sosial, tetapi sebagai subjek moral yang memiliki hak, kehormatan, dan potensi spiritual.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh identitas politik, rasial, dan ekonomi, pesan kesetaraan dari Islam adalah pesan yang mendesak untuk dihidupkan kembali. Ia bukan hanya kebutuhan politik, tetapi kebutuhan spiritual. Ketika kita meletakkan keadilan sebagai sifat Tuhan, maka memperjuangkan kesetaraan manusia bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban. Dalam setiap bentuk ketidakadilan sosial, diskriminasi, atau eksploitasi, terdapat pengingkaran terhadap keesaan Tuhan yang telah menciptakan kita dari satu jiwa. Dalam setiap tindakan yang memuliakan manusia tanpa memandang latar belakangnya, terdapat pengakuan yang sejati terhadap keadilan Ilahi.
Maka kesetaraan bukan sekadar wacana; ia adalah jalan menuju penghambaan yang murni, menuju tatanan dunia yang lebih adil, dan menuju kehidupan yang selaras dengan kehendak Tuhan. Jika keadilan adalah nama lain dari Tuhan, maka kesetaraan adalah pantulan dari wajah-Nya dalam pergaulan manusia.
Inhuwa.com dikelola secara independen tanpa pendanaan dari korporasi, partai, atau lembaga mana pun.
Seluruh operasional kami — mulai dari server, riset, hingga honor penulis tamu — berasal dari dana pribadi dan dukungan publik.
Dukungan Anda, sekecil apa pun, sangat berarti bagi kelangsungan blog ini agar terus menjadi sumber pengetahuan yang jujur, kredibel, dan mencerahkan tentang Islam dan masyarakat Muslim.
💳 Donasi via Transfer
🏦 BSI (Bank Syariah Indonesia)
📌 No. Rekening: 7307693423
👤 a.n. Ahmad Tamami
Semoga Allah membalas setiap kebaikan Anda dengan keberkahan hidup dan pahala jariyah yang terus mengalir. Aamiin.
Baca Juga: Istiqomah itu Seperti Embun, Bukan Hujan!